REVIEW CHAP 31,32,33
COMMUNICATION
ACCOMODATION THEORY
Teori ini
menjelaskan
bagaimana dan
mengapa kita menyesuaiakan prilaku komunikasi kita dengan prilaku komunikasi
orang lain atau komunikasi antara orang yang mempunyai latar belakang yang
berbeda.
COMMUNICATION
ACCOMMODATION STRATEGIES
Dalam proses
akomodasi inilah terjadi akomodasi atas persamaan maupun perbedaan :
1.
Convergence
: cara kita untuk menyamakan diri berusaha untuk menyamakan diri dengan
budaya yang ada atau berupa menyamakan diri dengan orang yang punya budaya
berbeda dengan niat ingin diterima.
2.
Divergence
: menonjolak perbedaan-perbedaan punya identitas kuat yang tidak mau begitu
saja diubah, sehingga menolak berubah menjadi sama dengan orang punya budaya
berbeda.
DIFFERENT
MOTIVATIONS FOR CONVERGENCE AND DIVERGENCE
Inintial
orientation adalah Predisposisi komunikator untuk fokus pada keduanya
identitas individu atau identitas kelompok mereka selama percakapan
1.
Collectivistic
cultural context : Sebagaimana dicatat dalam pengantar Bagian komunikasi
antarbudaya, perbedaan antara budaya kolektif dan individualistik mungkin
merupakan dimensi krusial dari variabilitas budaya
2.
Distressing
history of interaction : Jika interaksi sebelumnya tidak nyaman, kompetitif,
atau tidak bersahabat, kedua pelaku interaksi akan cenderung menganggap hasil
tersebut sebagai identitas sosial orang lain
3.
Stereotypes
: Semakin spesifik dan negatif gambar yang orang-orang memiliki out-group,
semakin besar kemungkinan mereka untuk memikirkan yang lain dalam hal identitas
sosial dan kemudian beralih ke komunikasi yang berbeda
4.
Norms
for treatment of groups : Norma dapat didefinisikan sebagai "harapan
tentang perilaku yang dirasakan oleh anggota komunitas seharusnya (atau tidak
seharusnya) terjadi dalam situasi tertentu
5.
High
group-solidarity / high group-dependence. :
proses solidaritas yang tinggi.
SOCIAL
IDENTITY THEORY
·
Desire for approval ---
convergence --- possitiv response
·
Need for disticveness ( social
identity ) ---- divergence --- negative response
ATTRIBUTION
THEORY : proses
mengelola persepsi untuk menentukan niat atau maksud orang yang berkomunikasi
dengan kita.
1.
Kemampuan
orang
2.
Hambatan
ektrime
3.
Usaha
atau upaya yang dilakukan
|
Face-Negotiation Theory of Stella
Ting-Toomey
Teori ini membantu menjelasksn perbedaan budaya untuk
membantu mengelola konflik dalam aspek komunikasi.berbagai aspek dari
individu dan identitas budaya digambarkan sebagaai wajah (face). Face
merupakan istilah kiasan untuk gambran diri yaitu bagaimana kita ingin
diperlakukan oleh orang lain.
COLLECTIVISTIC AND INDIVIDUALISTIC CULTURES
perbedaan antara keduanya dapat dilihat dari cara
mendefinisikan tiga istilah, yaitu self (diri), goals (tujuan), dan duty
(tugas).
Kolektivis mendefinisikan self-nya sebagai anggota dari
kelompok-kelompok tertentu, dia tidak akan melawan tujuan kelompok, serta
melaksanakan tugas yang berorientasi pada lebih mementingkan kepentingan
kelompok daripada kepentingan pribadi. Orang-orang kolektifis biasanya
menilai orang baru berdasarkan asal kelompoknya.
sedangkan orang yang individualis akan mendefinisikan
self-nya sebagai seseorang yang independent dari segala kelompok afiliasi,
tujuannya adalah memenuhi kepentingan pribadinya, dan melakukan segala tugas
yang menurutnya menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri
SELF-CONSTRUAL: VARIED SELF-IMAGES WITHIN A
CULTURE
Citra diri sejauh mana orang menganggap diri mereka
sebagai relative otnom dari atau terhubung dengan orang lain.
THE MULTIPLE FACES OF FACE
Face
bermakna berbeda pada orang yang berbeda, bergantung pada budaya dan
identitas individualnya.
1.
Face-restoration
adalah strategy facework dalam budaya individualistis. Ketika ada masalah,
orang yang individualistis akan lebih membela dan meyalamatkan citra diri
mereka dengan menyalahkan situasi yang tengah terjadi.
2.
Face-giving
merupakan facework strategy untuk mempertahankan atau mendukung kebutuhan
seseorang untuk menjadi bagian dari kelompok. karakteristik face strategy
yang digunakan masyarakat collectivism.
PREDICTABLE STYLES OF CONFLICT MANAGEMENT
Face: Linking Culture and Conflict Managemen
Ting-Toomey mengidentifikasikan 5 respons yangberbeda pada berbagai situasi:
1. Avoiding :
Menghindari diskusi dengan anggota kelompok lain mengenai perbedaan yang
dimiliki.
2. Obliging :
Memberikan harapan kepada anggota kelompok
3. Compromising
:Menggunakan give-and-take untuk kesepakan yang dapat dibuat.
4. Dominating :
Teguh dalam mempertahankan pendapat pribadi demi kepentingan pribadi.
5. Integrating :
Menukar ketepatan informasi dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama
Ting
toomey menambahkan model dalam conflict management :
1.
Emotional
expression, yakni lebih percaya diri dan mendominasi
2.
Passive
aggressive, tanpa benar-benar mengatakan bahwa seseorang malas, berusaha
membuat orang lain merasa bersalah
3.
Third-party
help, mencari bantuan pihak ketiga sebagai penengah agar dapat menemukan
jalan keluar dari suatu konflik.
COMPLICATING FACTORS: POWER DISTANCE AND
PERCEIVED THREATS
power distance sebagai suatu perluasan
di mana anggota mayarakat dengan power yang lebih lemah menerima bahwa power
sebenarnya terdistribusi secara tidak sama (unequal)
APPLICATION: COMPETENT INTERCULTURAL
FACEWORK
Tujuan utama yang hendak
dicapai oleh teori milik Ting-Toomey ini adalah mengidentifikasi bagaimana
orang-orang dengan budaya yang berbeda dapan bernegosiasi (negotiate face)
atau menangani konflik. Untuk mencapainya ada tiga hal yang mesti dipenuhi agar
komunikasi antar budaya bisa efektif yakni :
1.
Knowledge
(pengetahuan) ; ,pengetahuan yang luas
dapat membuka wawasan budaya yang luas.Dari situ kita bisa mengatur
strategi apa yang bisa kita gunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang
berbeda budayanya.
2.
Mindfulness
: memperhatikan perspektif dan interpretasi orang lain yang asing bagi kita
dengan memandang intercultural episode.
3.
Interaction
skill : kemampuan untuk berkomunikasi secara tepat, efektif, dan adaptif
dalam setiap situasi yang kita alami.
CRITIQUE: PASSING THE TEST WITH A GOOD GRADE
Dalam teori ini digambarkan budaya kolektivisme orang
Jepang dan budaya individualism orang Amerika oleh Ting-Toomey. Teori ini
juga memiliki kemampuan untuk menciptakan stereotype pada masyarakat Jepang
dan Amerika. Perbedaan budaya diantara dua negara ini terdapat sebuah area
dimana terjadi tumpang tindih di dalam perilaku kolektivisme atau
individualism masyarakt Jepang dan Amerika.
|
Speech
Codes Theory of Gerry Philipsen
teori ini
memandang budaya sebagai suatu konstruksi sosial dan pola simbol,
makna-makna, pendapat, dan aturan-aturan yang dipancarkan secara
berlanjut. Perbedaan di setiap bahasa kode ini bukan hanya terjadi pada
kelompok-kelompok dalam jumlah besar, namun bisa juga terjadi di dalam
kelompok kecil. Tujuan teori, untuk memahami perbedaan budaya dan bagaimana
proses menyesuaikan diri pada suatu kebudayaan. Kedapa di setiap kebudayaa
speech code berbeda-beda ini dikarenakan sejarah yang melekat pada budaya
masing-masing.
menguraikan
secara singkat inti teori kode berbicara kedalam 6 bentuk proposisi, yaitu :
THE
DISTINCTIVENESS OF SPEECH CODES
Proposisi 1 :
Dimanapun ada perbedaan budaya maka akan ditemukan perbedaan kode bicara
Philipsen
menemukan adanya kosakata, ungkapan maupun tata bahasa yang sama sekali
berbedadengan apa yang selama ini dipahaminya bahkan kebiasaan yang berlaku
umum. Salah satunyaadalah kebiasaan penduduk di Teamsterville untuk tidak
memulai sebuah percakapan tanpaterlebih dahulu memastikan status dari lawan
bicaranya atau latarbelakangnya, etnis, statussosialnya dan alamatnya
THE
MULTIPLICITY OF SPEECH CODES
Proposisi 2
: di dalam komunitas diberikan cara
berbicara , berbagai kode bicara digunakan
Dell Hymes
menyarankan bahwa mungkin ada lebih dari satu kode yang beroperasi didalam
sebuah komunitas pidato. Terlepas dari evaluasi mereka, komentator
menggunakan isitilah bermuatan moral seperti: evil, sin, dan faith. Oleh
karena itu couto menyimpulkan ada beberapa kode dalam komunitas berbicara
THE
SUBSTANCE OF SPEECH CODES
Proposisi 3 :
Kode berbicara melibatkan psikologi, sosiologi, dan retorika budaya yang
khas.
Psikologi :
menurut philpsen, tiap-tiap kode berbicara “ pokok pembicaraan “ alami
tentang individu secara khusus.
Sosiologi :
philpsen menulis bahwa suatu kode berbicara menyediakan suatu sistem jawaban
tentang hubungan antar pribadi dan orang lain, yang dapat dilihat atau dicari
dan sumber daya simbolis apa yang dapat dengan efektif dalam mencari hubungan
itu.
Retorik
: Philpsen menggunakan teori retorik dalam pengertian penemuan
kebenaran yang ganda dan pendekatan membujuk.
THE
INTERPRETATION OF SPEECH CODES
Proposisi 4:
Signifikansi berbicara tergantung pada kode berbicara yang digunakan oleh
pembicara dan pendengar untuk menciptakan dan menginterpretasikan komunikai
mereka.
Menurut Philipsen
Jika kita ingin untuk mengerti arti penting dari latihan berbicara yang
mencolok dengan budaya, kita harus mendengar melalui orang berbicara tentang
itu dan orang yang merespon juga.
THE
SITE OF SPEECH CODES
Proposisi 5 :
isitilah , aturan, dan pendapat, suatu kode berbicara ada dalam pembicaraan
pada diri sendiri. Hal ini tentu sulit jika kita dihadapkan pada suatu
masalah yang juga melibatkan orang lain.
Untuk itu komunikasi harus mengikuti suatu
urutan yang khas, yaitu :
Initiation
: Suara dari
teman dibutuhkan untuk bekerja melalui masalah interpersonal.
Acknowledgment : kepercayaan
orang penting di dalam persoalan dengan ketersediaan untuk duduk dan
bercerita.
Negotiation : Memperlihatkan diri teman,
pendengar yang percaya dalam sebuah empati dan tidak berpendapat, teman
memperlihatkan umpan bali yang terbuka dan berubah.
Reaffirmation : Penetapan Teman dan
orang kepercayaan mencoba untuk memperkecil perbedaan pandangan, dan
mengulangi pengertian pertanyaan dan berjanji satu sama lain
THE
FORCE OF SPEECH CODES IN DISCUSSIONS
Proposisi 6 :
penggunaan yang cerdik mengenai suatu kode berbicara bersama adalah suatu
kondisi yang cukup untuk meramalkan, menjelaskan dan mengendalikan dari
ceramah tentang kebijaksanaan,kejelasan, dan kesusilaan dslsm melakukan
komunikasi.
Performance
ethnography
kode berbicara.
Banyak ahli etnografi yang mengkritik teori dari Philipsen dalam meneruskan
teori antar budaya yang dicetuskannya. Philipsen dalam menguraikan kode
bicara Nacirema mengalami kegagalan. Philipsen gagal untuk membuka kedok pola
dan Philipsen juga tidak angkat bicara dalam masyarakat Teamsterville.
Kritik
Teori ini cocok
diterapkan dalam komunikasi interpersonal. Banyaknya suku dan budaya di
Indonesia menyebabkan kita kesulitan berkomunikasi dengan orang lain yang
berbeda budaya dengan kita. Namun perbedaan tersebut akan menjadi mudah
apabila orang-orang mampu untu mengkaitkan dengan kajian etnografi. Dalam
berkomunikasi kita bisa menggunakan bahasa nasional yang mudah dimengerti dan
dipahami oleh masyarakat umum, walaupun berbeda budaya.
|
Komentar
Posting Komentar