Muted Group Theory ( Cheris Kramarae )



  • Muted Group Theory

Cheris Kramarae menyatakan bahwa bahasa adalah konstruksi kaum pria. Menurutnya, bahasa dalam budaya tertentu tidak memperlakukan setiap orang secara setara, dan tidak semua orang berkontribusi secara berimbang terhadap penciptaan bahasa tersebut. Wanita (dan kelompok yang tersubordinasi lainnya) tidak sebebas dan memiliki akses yang luas sebagaimana kaum pria dalam mengekspresikan apa yang mereka inginkan, kapan, dan di mana mereka menginginkannya, karena kata-kata dan nornma-norma yang digunakan pada dasarnya dibentuk oleh kelompok dominan, yaitu kaum pria itu sendiri.

  • KELOMPOK MUTED: BLACK HOLES IN SOMEONE ELSE'S UNIVERSE
Ardener berasumsi bahwa ketidakpedulian terhadap pengalaman wanita merupakan masalah unik gender bagi social-anthropology. Ia kemudian sadar bahwa mutedness (kebisuan) disebabkan karena kekurangan kekuasaan. Orang-orang yang memiliki sedikit kekuatan tidak menyadari masalah bahasa yang mereka gunakan untuk mengungkapkan persepsi mereka. Menurut Ardener, muted structures ada di dalamnya, tetapi tidak sadar dalam penggunaan bahasa yang diciptakan kelompok dominan. Sebagai hasilnya, mereka diabaikan, disia-siakan, dan tidak terlihat. Seperti black holes in someone else’s universe. 
  • Kekuatan Maskulin untuk Menamai Pengalaman
Menurut Kramarae, wanita cenderung mencari cara yang berbeda dalam mengekspresikan pengalamannya kepada public melalui diary, jurnal, surat, cerita, gossip dll. Namun pria tetap berusaha memahami maksud wanita karena mereka sadar bahwa mendengarkan wanita itu perlu untuk membangun kehormatan yang lebih besar lagi untuk dirinya.  Tujuan utama dari muted group theory adalah untuk mengubah manmade linguistic system yang membuat wanita tidak bisa maju dan berkembang.
  • PRIA SEBAGAI GATE KOMUNIKASI
Meskipun public mode of expression memiliki begitu banyak kosakata untuk mendeskripsikan pengalaman feminin, wanita akan tetap di-muted ketika mode of expression mereka diabaikan. Dalam masyarakat terjadi pembangunan kultural tentang peran luar biasa pria dengan tidak mengakui atau mempublikasikan seni, puisi, skenario, public address, dan esay akademik wanita. Selama 500 tahun wanita dilarang membuka bisnis. Bahkan pengaruhnya dalam media cetak dibatasi hingga tahun 70-an. Kramarae menyebutnya malestream expression. Menurut Dorothy Smith, pria menganggap penting hanya pembicaraan yang diucapkan pria. Lingkaran pria yang menulis dan berbicara sangat penting bagi satu sama lain. Apa yang dilakukan pria hanya relevan bagi pria, ditulis oleh, tentang, dan untuk pria. Pria didengarkan dan mendengarkan satu sama lain
  • BERBICARA ONLINE: POTENSI INTERNET
Kita berasumsi bahwa ketika internet muncul, era gatekeeping yang dilakukan oelh pria, telah berakhir. Namun tidak demikian menurut Kramarae. Di bawah ini ada 4 kiasan untuk menggambarkan hal itu:
  1. Information Superhighway, yaitu masih sulit bagi wanita untuk mengakses pelayanan inernet dengan harga yang relative masih tidak terjangkau bagi wanita, serta situs tidak dirancang secara khusus untuk menyambut wanita.
  2. The New Frontier, yaitu pria berpandangan bahwa komputer dan online tidak cocok bagi wanita.
  3. Democracy, yaitu karena kaum wanita belum menjadi kelompok yang ‘membuat pengetahuan (knowledge), maka wanita justru harus lebih berhati-hati ketika menelusuri dunia maya.
  4. A Global Community, lewat internet, wanita bisa saling berbagi pengalaman dengan orang lain di seluruh dunia. Namun internet menghadirkan komunitas yang telah eksis tanpa mendorong pihak-pihak yang tidak hadir untuk berpartisipasi. Untuk mendapt kepercayaan, para pria membuat site ‘women only’ untuk menipu wanita dan mendapatkan kepercayaan mereka.
  • SPEAKING WOMEN’S TRUTH IN MEN’S TALK: THE PROBLEM OF TRANSLATION
Mengasumsikan bahwa dominansi maskulin dalam komuniksi publik adalah sebuah realitas yang tengah terjadi, Kramarae menyatakan, untuk berpartisipasi dalam masyarakat, wanita harus mentranslasikan model mereka ke dalam sistem ekspresi pria yang dipakai masyarakat selama ini. Seperti bicara dengan bahasa kedua, translasi ini butuh proses yang terus-menerus. Apa yang ingin dikatakan wanita tidak dapat diungkapkan secra benar-benar tepat karena bahasa yang ada bukanlah buatan mereka. Dan, layaknya seperti bahasa kedua, ketika translasi selesai dilakukan, kata-kata yang telah ditranslasikan itu tidak benar-benar mengungkapkan maksud wanita. 
  • SPEAKING OUT IN PRIVATE: NETWORKING WITH WOMEN 
Menurut Kramarae, wanita cenderung mencari cara yang berbeda dalam mengekspresikan pengalamannya kepada public. Wanita menggunakan diary, jurnal, surat, cerita, dongeng, gossip, seni, puisi, nyanyian, maupun parodi nonverbal. Pria biasanya lupa akan sekitarnya jika telah berkomuniksi dengan wanita lewat channels tersebut. Karamarae yakin bahwa pria memiliki kemampuan yang lebih rendah dari wanita dalam mengerti maksud dari lawan jenis. Namun pria tetap melakukan itu karena mereka sadar bahwa mendengarkan wanita itu perlu untuk membangun kehormatan yang lebih besar lagi untuk dirinya.
  • ENRICHING THE LEXICON: A FEMINIST DICTIONARY
Tujuan utama dari muted theory adalah untuk mengubah man-made linguistic system yang membuat wanita tidak bisa maju dan berkembang. Menurut Kramarae, salah satunya dibakukan oleh kamus-kamus yang beredar. Kemudian ia dan Paula Treichler membuat kompilasi kamus feminis yang menawarkan definisi untuk kata-kata wanita. 
  • SEXUAL HARASSMENT: COINING A TERM TO LABEL EXPERIENCE
Pelecehan seksual (sexual harassment) tidaklah terjadi secara acak menurut Kramarae. Wanita telah menjadi objek tetap pelecehan seksual. Ini terjadi karena wanita tidak memiliki kekuasaan (power) yang besar dalam masyarakat sehingga ia senantiasa dilecehakn dan direndahkan. Masih menurut Kramarae, istilah sexual harassment sendiri digunakan pertama kali pada sebuah kasus di pengadialn pada akhir tahun 1970. itu adalah kata legal petama yang didefinisikan oleh wanita. Dan bagi muted group, perjuangan untuk mengimbangi man-made language, terus berlangsung


JURNAL 
REPRESENTASI PEMBISUAN WANITA DI DALAM RUBRIK OLAHRAGA “SPIRIT” PADA HARIAN UMUM SUARA MERDEKA
  • LATAR BELAKANG

Dalam kaitannya dengan rubrik olah raga harian umum Suara Merdeka, setiap pembaca rubrik tersebut diharapkan dapat meningkatkan minat dan motivasi untuk berolah raga dan dapat mengembangkan kemampuan dalam bidang yang saat ini “masih dikuasai” oleh kaum pria. Dengan adanya kesenjangan gender dalam penerbitan berita olah raga, tidak mengherankan jika angka atlet di Indonesia lebih banyak kaum laki-laki daripada kaum wanita, hal ini disebabkan oleh kurangnya apresiasi terhadap kaum perempuan yang 3 berprofesi sebagai atlet untuk memiliki porsi yang sama dengan kaum laki-laki yang berprofesi sama. Selain itu, dengan kurangnya publikasi kaum perempuan akan menguatkan kesan maskulin dalam harian umum Suara Merdeka karena lebih mengutamakan kaum laki-laki daripada kaum perempuan. Kesan mengesampingkan prestasi dan kemampuan kaum perempuan juga akan terlihat karena kaum perempuan kurang mendapatkan perhatian dan sorotan prestasinya walau hanya dalam bentuk liputan olahraga dalam harian umum saja.

  • PEMBAHASAN
Penggambaran karakter perempuan oleh media dewasa ini adalah cenderung lemah, rapuh, menggoda, pesolek dan jauh dari kesan kuat, gesit, tangguh. Akibat dari adanya anggapan ini banyak tindakan yang seolah-olah merupakan kodrat karena seolah-olah tanpa ada yang meng-kontruksi sebelumnya. Media didominasi oleh laki-laki, para pelaku media seperti jurnalis, redaktur, pimpinan redaksi, sampai dengan pemilik media masih di dominasi oleh laki-laki. Daniel Dhakidae (Siregar,199:14) menyatakan bahwa pers terutama surat kabar harian sebagai sosok yang male industry, suatu industry yang di dominasi oleh kaum laki-laki dari segi kuantitas (personal) maupun kualitasnya (organisasi dan manajemen kerja) nampaknya mendekati kebenaran. Figur perempuan dalam media masa khususnya di rubrik Olahraga harian umum Suara Merdeka cenderung menampilkan wanita yang karena bentuk tubuh, gaya, dan personalitynya menjadi layak untuk di beritakan, dan bukan dari sisi prestasi, kekuatan mental, dan seleksi alam yang telah dia lewati. Wanita direpresentasikan sebagai pendamping
  • Teori Muted group
Dirintis oleh Antropolog Edwin Ardener dan Shirley Ardener. Pada Mulanya Edwin Ardener memandang bahwa Antropolog cenderung mengamati suatu budaya dengan pengertian yang maskulin. Dalam pengamatan tersebut Edwin Ardener menganggap bahwa laki-laki lebih menciptakan suasana bagi suatu kelompok sedangkan wanita cenderung bungkam. Perempuan yang bungkam ini menurut Edwin Ardener karena wanita tidak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan diri seperti laki-laki. Hal tersebut ditambahkan oleh Shirley Ardener yaitu bahwa perempuan yang diam tersebut karena mempunyai suatu makna, dan hal ini terbukti dalam suatu situasi percakapan yang ekspresif dalam situasi publik daripada dalam situasi pribadi. Sebagai konsekuensinya perempuan memantau perilaku komunikasinya secara lebih inteksif daripada laki-laki.
  • KESIMPULAN
Berita dalam rubrik olahraga “Spirit” dalam harian umum Suara Merdeka melahirkan sebuah bentuk realitas yang sengaja dikonstruksiakn untuk memberikan sebuah gambaran melalui kode kode dan ideologi budaya. Berdasarkan analisis sintagmatik dan analisis paradigmatik menggunakan five major code (semiotika) milik Rolland Barthes, menunjukkan pada dasarnya 10 rubrik olahraga “Spirit” dalam harian umum Suara Merdeka ingin menunjukkan representasi wanita sebagai : 
1. Wanita memiliki perbedaan dalam aspek ragawi. Wanita dengan segala hal yang melekat pada dirinya antara lain fisik, bentuk tubuh, sikap, pemikiran dan prestasi yang dimiliki merupakan kombinasi yang dapat di “jual” menjadi bahasan yang menarik khalayak.
 2. Representasi Wanita sebagai jenis kelamin ke-dua (Secondary Sex) dilatar belakangi oleh budaya patriarki yang diteruskan karena hal tersebut telah lumrah dan telah terjadi. Sehingga prosesnya tampak natural dan tidak lagi perlu lagi di kritisi dan dikaji. Pembisuan wanita dalam hal ini muncul dengan penguatan-penguatan maskulinitas yang superior

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Standpoint Theory of Sandra Harding & Julia T. Wood

Critical Theory Of Communication in Organizations

Cultural Approach to Organizations